-->

KISAH BATU KUYUNG DI BENGKULU

Post a Comment

Ada sebuah cerita rakyat yang mengisahkan tentang  kehidupan sebuah keluarga kecil di sebuah dusun pada daerah Tanjung Meranti, di Bengkulu. Keluarga tersebut terdiri dari sepasang suami istri dengan kedua orang anaknya. Anak yang pertama atau sulung mereka adalah seorang laki-laki bernama Dimun. Sedangkan si kecil bungsu adalah seorang anak perempuan yang bernama Meterei.


 

Kedua orang tua Dimun dan Meterei sebenarnya baik, tetapi karena keinginan mereka yang terlalu besar untuk menjadi kaya raya, membuat mereka sangat sibuk bekerja sampai-sampai tidak sempat bagi mereka untuk menyisihkan waktu demi anak-anaknya, merawat dan mendidik anak-anak mereka dengan baik. Mereka mencari nafkah dengan cara beragam, waktu mereka habis untuk bekerja, mereka bertani, mencari ikan, dan membuat kerajinan yang dibutuhkan masyarakat seperti bubu, baronang, serta bakul dan jenis kerajinan lainnya yang akan mereka jual di pasar nantinya. Karena kesibukan mereka itulah, sebagai akibatnya, kedua anaknya yaitu Dimun dan Meterei tumbuh menjadi anak yang nakal serta berperangai buruk karena kurangnya perhatian orangtua mereka. Kedua anak mereka itu sering berkata-kata yang sangat kasar, mencemooh orang lain yang lewat, intinya kedua anak tersebut sering berbuat nakal untuk mencari perhatian orang lain.

Pada suatu hari di waktu pagi menjelang siang, kedua pasangan suami istri itu tengah sibuk bekerja dengan membuat berbagai kerajinan tangan yang akan mereka jual ke pasar. Saking sibuknya mereka bekerja, sampai-sampai mereka tidak sempat lagi memasak makanan untuk anak-anak mereka itu. Tidak lama kemudian, kedua anak itu pun mulai merasa lapar, mereka berusaha mencari makanan yang mungkin masih ada di dapur tetapi tidak mereka temukan, sedangkan perut mereka sudah semakin lapar.

Mereka terus menerus merengek-rengek meminta makanan kepada kedua orangtuanya, sedangkan orangtuanya masih saja kedua tangannya sibuk merangkai kerajinan mereka. Kedua orang tua mereka saking sibuknya nampak tidak memperdulikan rengekan kedua anak mereka. Karena kedua anak itu merasa kesal tidak diperdulikan, keduanya lantas kemudian mengambil kerajinan milik orangtuanya lantas merusak barang-barang kerajinan buatan orang tua mereka itu sambil berteriak-teriak. Mereka menendang, membanting bubu, baronang sambil berkata "kami lapar, kami lapar".

Meterei si bungsu bahkan menangis karena sudah sangat merasa lapar sekali. Kedua orang tua sebenarnya mereka sudah sangat kesal melihat tingkah laku anaknya.  tetapi karena kesibukan mereka yang tiada akhir itu, mereka menjadi melupakan anak-anaknya. Mereka lantas mengambil barang-barang yang dirusak anaknya kemudian mereka perbaiki satu persatu-satu yang menambah waktu bagi mereka untuk bekerja tentu saja.
 “Ibu, beri kami makanan, kami sudah sangat kelaparan! Kami belum makan dari pagi Ibu!” kata mereka berdua kepada ibunya. Walaupun anaknya sudah sangat kesal, tetapi ibunya nampak kurang peduli.

“Mintalah makanan pada ayahmu sana, ibu sedang sibuk!” jawab ibunya ketus dan marah.

“Ayah, beri kami makanan, kami sangat lapar! Kami sudah sangat kelaparan sekali, kenapa engkau tidak mempedulikan kami!” kata mereka pada ayahnya yang juga sedang sibuk merangkai kerajinan.

“Apakah kalian buta, tidak lihat ayah saat ini sedang sibuk sekali! Pergi sana, minta saja makanan itu pada ibu kalian!” bentak ayahnya dengan nada yang tinggi.

Dimun dan Meterei kemudian kembali kepada ibunya dan merengek-rengek minta makanan, perut mereka sudah sangat lapar sekali.  Lagi-lagi ternyata ibunya menyuruh mereka untuk meminta makanan pada ayah mereka saja.  Begitu juga sebaliknya, terus berlanjut seperti itu, sampai kedua anaknya sudah sangat kesal. Mereka memutuskan untuk pergi ke belakang rumah saja pikirnya.

Karena merasa sudah sangat marah dan putus asa, kedua anak itu akhirnya pergi saja dan menuju ke kebun di belakang rumah mereka. sambil berjalan pelan, kedua anak itu melihat sebuah batu, kemudian mereka duduk diatas sebuah batu besar itu sambil melamun. Batu besar tersebut mereka biasa memanggilnya Batu Kuyung. Untuk menghilangkan sedikit rasa lapar, keduanya kemudian mendendangkan sebuah lagu sedih tentang nasib mereka yang tidak dipedulikan oleh orangtuanya.

Dalam dendangnya itu, mereka meminta Batu Kuyung untuk mau membawa mereka terbang tinggi saja menjauh dari orang tua mereka yang acuh. Ajaibnya, setelah berhenti mendendangkan lagu, Batu Kuyung tersebut tiba-tiba bergetar dengan kuat kemudian mendadak bertambah tinggi.  Dimun dan Meterei merasa sangat heran merasakan kejadian aneh tersebut. sambil saling melihat, mereka keheranan dengan kejadian yang baru saja terjadi itu. Meraka menjadi penasaran.

Mereka kemudian kembali melanjutkan berdendang, mereka meminta Batu Kuyung membawa mereka terbang sangat tinggi. kemudian setelah berhenti berdendang, Batu Kuyung tersebut tiba-tiba kembali bertambah tinggi dan begitu seterusnya, tidak terasa batu itu semakin tinggi dan semakin tinggi saja.

Kedua anak nakal itu merasa sangat senang sekali karena Batu Kuyung telah lebih tinggi dari semua pepohonan yang ada di dusun Tanjung Meranti. Mereka sangat senang sekali karena bisa memandang daerah sangat luas dari ketinggian itu. Rasa lapar mereka ternyata perlahan menghilang. Mereka berdua terus saja berdendang karena ingin pergi ke tempat lebih tinggi lagi. 

Sementara itu kedua orang tua mereka, akhirnya telah selesai bekerja. Mereka juga telah selesai pula memasak makanan untuk anak-anak mereka. Mereka kemudian tersadar bahwa Dimun dan Meterei tidak ada di dalam rumah. Mereka menjadi panik karenanya, mereka memanggil-manggil anak mereka untuk pulang dan makan.

“Dimun! Meterei! Dimana kalian? Ayo pulang lah nak, kita makan bersama.” kata ibu mereka. Wajahnya pucat karena kedua anaknya hilang.

Tetapi tidak ada jawaban dari kedua anak mereka itu. Mereka kemudian segera pergi keluar untuk mencari anak mereka. Saat mereka melihat ke luar, betapa terkejutnya mereka mendapati Batu Kuyung di kebun telah berubah menjadi sangat tinggi sekali. Sayup-sayup terdengar suara kedua anak mereka itu di atas Batu Kuyung tersebut.

“Dimun! Meterei! Turunlah! Ayo pulang kita makan bersama!” 

keduanya berteriak meminta anak-anaknya segera turun. Mereka berdua merasa sangat khawatir dan takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Mereka menyesal sekali karena telah menyia-nyiakan anak mereka. Ayah Dimun dan Meterei kemudian segera mengambil sebuah kapak di dalam rumah kemudian dengan susah payah berusaha menebang Batu Kuyung itu namun gagal, batu itu sangat kuat sekali.

Namun Dimun & Meterei tidak lagi mau memperdulikan panggilan kedua orang tuanya itu, mereka sudah tidak peduli. Mereka terus saja berdendang tanpa henti, pandangan mereka ke langit tidak mau memandang kedua orangtuanya yang khawatir di bawah.  Akibatnya tentu saja Batu Kuyung terus-menerus bertambah tinggi.  Sampai akhirnya Batu Kuyung mencapai langit.

Begitu menyentuh langit itu, tiba-tiba Dimun dan Meterei menghilang tanpa bekas. Setelah kedua anak tersebut menghilang itulah, Batu Kuyung tersebut mendadak kehilangan kekuatannya, mulai oleng dan akhirnya roboh menimbulkan suara yang sangat keras.

Batu Kuyung tinggi tersebut ternyata roboh menimpa rumah Dimun dan Meterei hingga hancur tidak bersisa. Kedua orang tua mereka itupun juga tertimpa Batu Kuyung tersebut hingga keduanya tewas seketika.

Newest Older

Related Posts

Post a Comment