Pada masa dahulu ada sebuah kerajaan yang bernama Kesultanan Demak, kerajaan ini berkuasa di Jawa Tengah pada masa itu, Kabupaten Semarang yang sekarang menjadi Ibu Kota Jawa tengah termasuk dalam wilayah kesultanan kerajaan Demak. Kabupaten Semarang saat itu dipimpin oleh Ki Ageng Pandanaran.
Ki Ageng Pandanaran ini merupakan seorang pedagang sukses dan termasuk ke dalam saudagar kaya raya pada saat itu.
Namun semakin sukses dirinya, maka seiring berjalannya waktu dan kekayaan yang meningkat jumlahnya menjadi melimpah ruah tidak terbendung hartanya, Ki Ageng Pandanaran malah semakin sibuk memperkaya dirinya sendiri, sampai-sampai dia melupakan kesejahteraan rakyatnya dan hanya fokus terhadap dirinya sendiri.
Menurut salah satu cerita yang berkembang di masyarakat, dikatakan bahwa Sunan Kalijaga yang termasuk ke dalam wali songo saat itu merupakan salah satu penasehat dari Sultan Demak yang sedang berkuasa.
Melihat Ki Ageng Pandanaran yang hidupnya hanya memikirkan diri sendiri, maka Suna Kalijaga pun bermaksud untuk mengingatkan Ki Ageng Pandanaran dengan cara menyamar menjadi seorang penjual rumput yang miskin dan lusuh bajunya.
Pada suatu pagi yang cerah, pedagang rumput yang nyatanya adalah Sunan Kalijaga itu kemudian mendatangi Ki Ageng Pandanaran yang sedang santai di depan rumahnya. Penyamaran ini sungguh sangat sempurna, karena tidak ada yang dapat menyangka bahwa di balik pakaian lusuh tersebut adalah salah seorang wali songo.
Ia kemudian berpura-pura menawarkan dagangan rumputnya kepada Ki Ageng Pandanaran. "Wahai Bupati yang terhormat, maukah engkau membeli rumput ini, bantulah kami selaku rakyat agar kami dapat menyambung kehidupan", ujar pedagang rumput itu kepada Ki Ageng Pandanaran.
Ki Ageng kemudian berdiri, dilihatnya rumput itu dengan seksama sambil sedikit menjelaskan bahwa rumput tersebut kurang bagus, tetapi dia setuju membeli rumput tersebut tapi dengan harga yang sangat murah sekali.
Sunan Kalijaga yang menyamar itu kemudian menolaknya dengan alasan harganya terlalu murah. "wahai bupati harga yang engkau tawarkan sungguh sangat murah sekali, ini tidak sesuai dengan jerih payah yang kulakukan untuk mendapatkan rumput ini" ujarnya.
Ki Ageng Pandanaran tidak terima dengan perkataan penjual rumput, harga dirinya selaku bupati merasa direndahkan oleh seorang penjual rumput yang dirasanya seorang rakyat jelata yang seharusnya tidak boleh menolak dengan keinginan seorang Bupati dan pembesar sepertinya.
Ia merasa tersinggung dengan penolakan Sunan Kalijaga yang menyamar itu. Ia-pun kemudian sangat marah dan mengusir Sunan Kalijaga. tangannya menunjukan arah pintu keluar dari halaman rumahnya, seolah mengatakan untuk segera meninggalkan rumahnya tersebut.
Sebelum pergi, ternyata kemudian Sunan Kalijaga berkata pada Ki Ageng Pandanaran bahwa ada berbagai cara yang lebih baik untuk mencari kekayaan daripada hanya menimbun harta yang seharusnya menjadi hak rakyat.
Penjual rumpat itu berkata: “Wahai Pak Bupati terhormat, Engkau adalah pejabat yang seharusnya mensejahterakan rakyatmu, daripada menimbun harta yang harusnya milik rakyat, ada cara lain lebih terhormat untuk mencari harta kekayaan.”
“Memangnya siapakah kamu? Sampai-sampai engkau berani menceramahiku?” kata Bupati Semarang dengan nada tegas dan kuat.
“Mohon pinjami saya cangkul untuk menunjukkan cara mencari harta yang benar” jawab Sunan Kalijaga. Beliau tidak langsung menjelaskan siapa dirinya, tetapi bermaksud mengajarkan terlebih dahulu kepada Ki Ageng Pandanaran. Beberapa orang tidak akan langsung percaya dengan perkataan saja, tetapi harus dibuktikan bukti agar percaya.
Ki Ageng Pandanaran kemudian memberikan cangkul kepada Sunan Kalijaga. kemudian segera diraihnya cangkul itu. Segera Sunan Kalijaga mencangkul tanah di depannya. “Prak.” terdengar suara cangkul mengenai sebuah benda keras.
Setelah benda itu diambil, ternyata itu adalah bongkahan emas.
Ki Ageng Pandanaran merasa kaget menyaksikan kejadian tersebut.
Ia kemudian melihat baik-baik wajah si penjual rumput.
Ia berusaha menebak-nebak siapa sebenarnya si penjual rumput.
Setelah mengamati agak lama, Ki Ageng tersentak kaget ketika menyadari bahwa si penjual rumput adalah Sunan Kalijaga.
Segera ia bersimpuh meminta maaf pada Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dengan bijaksana memaafkannya.
Ia meminta beliau agar kembali memimpin Kabupaten Semarang dengan benar.
Sunan Kalijaga kemudian meninggalkan Ki Ageng Pandanaran.
Sepeninggal kejadian tersebut, Ki Ageng menjadi merasa bersalah.
Ia sangat malu telah menumpuk kekayaan dengan jalan tidak benar.
Ia kemudian memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Bupati Semarang.
Untuk menebus kesalahannya, Ia akan mengikuti jejak Sunan Kalijaga menjadi seorang penyiar agama dengan mendirikan sebuah pondok pesantren di Gunung Jabaikat.
Nyai Ageng yang mengetahui rencana suaminya, menyatakan akan mengikuti jejak Ki Ageng.
Ki Ageng Pandanaran menyetujui keinginan Nyai Ageng dengan syarat tidak boleh membawa harta benda.
Tibalah saat keberangkatan Ki Ageng dan Nyai Ageng ke Gunung Jabaikat untuk membangun pondok pesantren.
Sebelum berangkat, Nyai Ageng sibuk mengumpulkan perhiasan untuk ia bawa.
Ia menyimpannya ke dalam tongkat bambu.
Karena menunggu lama, akhirnya Ki Ageng Pandanaran berangkat terlebih dahulu ke Gunung Jabaikat.
Tidak lama kemudian, setelah selesai mengumpulkan perhiasan untuk dibawa ke Gunung Jabaikat, Nyai Ageng segera berangkat menyusul Ki Ageng Pandanaran.
Tapi sial, di tengah perjalanan muncul tiga orang perampok memaksanya untuk menyerahkan semua perhiasan dalam tongkat bambu yang dibawa oleh Nyai Ageng.
Karena tidak mempunyai pilihan lain, Nyai Ageng pun menyerahkan semua perhiasan yang ia bawa kepada para perampok.
Ia segera bergegas pergi menyusul suaminya di Gunung Jabaikat.
Sesampainya di Gunung Jabaikat, Nyai Ageng segera menceritakan perampokan yang dialaminya.
Ki Ageng Pandanaran kemudian menasehati istrinya agar jangan terlalu serakah dengan harta.
Ia meminta istrinya menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran.
Ki Ageng kemudian mengatakan bahwa di tempat istrinya dihadang oleh ketiga perampok tersebut kelak akan bernama Salatiga, yang berarti tiga orang bersalah.
Post a Comment
Post a Comment