Para penduduk di desa itu sebagian besar merupakan petani. Demikian pula halnya dengan Toba. Meski hanya mempunyai sepetak sawah kecil peninggalan orang tuanya, Toba tidak sempat kekurangan, dia mampu mengolahnya dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Dia berusaha untuk senantiasa bersyukur atas hal itu, walaupun hidupnya memang sedikit sederhana dan kekurangan.
Pada suatu hari, desa tempat tinggal Toba dilanda kemarau yang begitu panjang. Para penduduk kesusahan air. Mereka telah kehabisan persedian air di sumur-sumur meraka.
Sawah merekapun perlahan-lahan mengering. Persediaan di lumbung padi telah nyaris hampir habis tetapi hujan belum pula turun. Kekeringan yang menyerang desanya tidak membuat Toba patah semangat, dia memikirkan cara agar dapat bertahan hidup selain dengan cara bertani.
Dia memutuskan buat ubah haluan dengan menjadi nelayan. Toba berencana mencari ikan ke laut. Diajaknya beberapa orang pemuda dari penduduk desa untuk pergi bersama-sama melaut.
Pagi itu Toba serta para pemuda yang lain mulai menyiapkan dan mengumpulkan jala ikan yang mereka memiliki di rumah masing-masing.
Mereka juga mempersiapkan perahu yang hendak mereka gunakan melaut. Sehabis seluruh persiapan itu lengkap, berangkatlah Toba serta sahabat-sahabatnya sore itu dengan menaruh harapan besar akan keberhasilan menangkap ikan yang besar dan gemuk.
Sehabis bergantian mendayung beberapa lama, sampailah Toba serta sahabat-sahabatnya di tengah laut. Mereka pun mulai menebar jaring mereka masing-masing, setelah itu mereka menunggu hasilnya.
Angin dingin yang berhembus tidak mereka rasakan. Toba serta sahabat-sahabatnya menghabiskan waktu dengan berbincang sembari bersenda gurau sambil sekali-kali melihat ke arah jala mereka.
Legenda Danau Toba |
“ Heran aku.. kenapa di laut pula paceklik seperti ini? kemanakah ikan-ikan di laut ini bertolak?”, tanya Toba dalam hati dengan sedikit kecewa.
besoknya, mereka berupaya peruntungan lagi mencari ikan di laut dengan berbeda lokasi. Tetapi sangat mengherankan juga, lagi-lagi mereka kembali dengan tangan hampa. Apalagi beberapa kali setelahnyapun mereka senantiasa kandas walaupun sudah berpindah pindah tempat, ikan-ikan itu seolah tahu bahwa akan ada yang datang untuk menangkapnya. Ikan ikan itu seakan sirna ditelan bumi.
Para penduduk mulai putus asa, banyak diantara mereka terancam kelaparan karena kekurangan bahan makanan. Satu persatu dari kepala keluarga mulai berangkat meninggalkan desa. Mereka berencana untuk mengadu nasib di kota besar sebagai buruh ataupun apa yang dapat mereka kerjakan untuk menyambung hidup kelurga di kampung.
Toba berusaha untuk bertahan di desanya. Dia merasa pilu bila mesti meninggalkan rumah serta kampung tempat dia dibesarkan, “aku akan berusaha mencari jalan disini, walau apapun caranya” pikir Toba. Kenangan indah bersama orang tuanya membuatnya enggan untuk berangkat. Dia berkomentar ke dirinya sendiri: “Tuhan pasti akan selalu berikan rejeki dimanapun mahluknya berada asalkan mereka ingin berupaya dengan sungguh-sungguh.
Toba berupaya lagi mencari ikan di laut. Kali ini dia seseorang diri sebab tidak seorangpun yang ingin diajak serta, mereka sudah kehabisan keinginan karena selalu gagal mendapatkan ikan. Pada Sore hari Toba berangkat ke laut, dia mendayung perahunya secara pelan pelan. Dia berpikir wajib memiliki persediaan tenaga yang lumayan sebab dia wajib mendayung sendiri.
Begitu sampai di tengah laut toba menghentikan kapalnya, Toba lekas menebar jaring yang dibawanya. Dia kemudian menunggu hasil sembari memandang bintang bintang di langit, pikirannya membayangkan keberhasilan. Malam itu dia merindukan kembali masa kanak kanaknya, Toba juga terkenang tentang kedua orang tuanya yang sudah tiada.
Tiba-tiba ketika sedang melamun itu, jaringnya bergerak-gerak dengan cepat. Toba kaget tetapi segera tersadar, dia lekas menarik jaringnya dengan cepat dan tangkas, berharap ada ikan yang terjerat. Ditariknya jaring tersebut. “ Berat sekali”, gumamnya.“ Kelihatannya saya menemukan ikan yang sangat besar”, pikirnya lagi.
Toba menarik jaringnya dengan tersenyum bahagia sembari terus berupaya menaikkan hasil tangkapannya ke dalam perahu, ditariknya jaring itu dengan hati-hati agar ikan yang berada di dalamnya tidak terlepas. Sata jaring itu telah ditas perahu, Toba tertegun memandang seekor ikan besar yang terletak di jalanya. Seekor ikan besar bercorak keemasan yang sangat menawan.“ Ikan apa ini?”, tanyanya dalam hati. Toba merasa heran sekali sebab dia belum pernah memandang ikan semacam itu dalam hidupnya.
Baca Juga
Begitu sampai di rumahnya, nyatanya ikan itu masih hidup. Karena tidak tega melihatnya sangat lemas karena kekurangan air, Toba memasukkannya ke dalam suatu tempayan besar yang terletak di dapur rumahnya.
Ikan itu kemudian bergerak-gerak. Nampak ikan itu sangat bahagia sebab Toba memasukkannya ke dalam air. Toba meninggalkannya serta beranjak ke kamarnya buat istirahat. “ Aku sangat lelah setelah berlayar semalaman” pikir Toba.
Matahari telah terbit kala Toba terbangun. Perutnya terasa sangat lapar sebab dia belum makan apapun semenjak kemarin sore.
Toba lekas berjalan ke dapur guna mencari sisa-sisa makanan simpanannya. Iapun teringat akan ikan di tempayan yang dibawanya kembali tadi pagi.
Toba sangat kaget begitu datang di dapur. Dia memandang aneka masakan terhidang di meja kecil yang terletak di sudut dapur.
“ Santapan dari mana ini?”, pikirnya heran.“ Siapa yang memasak seluruh makan ini?”. Toba sangat heran. Dia tertegun memandang seluruh makanan itu.
Rasa lapar yang menderanya membuat Toba melupakan sejenak keheranannya. “Aku sangat lapar, aku makan saja”.
“ Bisa jadi Tuhan mengirim seorang buat mengantar santapan ini untukku”, pikirnya lagi. Dia lekas mengambil piring serta mulai makan. “Makan ini sangat lezat sekali”. Toa makan dengan semangat, belum pernah Toba merasakan santapan selezat itu, karena dia terbiasa memasak untuk dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Toba meninggalkan rumah dini hari. Dia berangkat ke tepi laut hendak mengecek keadaan perahunya dan mempersipkannya agar siap untuk berlayar. Setelah itu ia kembali lagi ke rumahnya. Toba tidak putus asa, dia bernazar akan melaut lagi nanti malam. Dia berpikir bila manusia ingin berupaya, Tuhan tentu berikan rejeki.
Kala telah kembali ke rumahnya di siang hari, Toba kembali terkaget-kaget memandang aneka santapan tersaji di meja kecilnya di sudut dapur. Toba mengecek seluruh rumah hingga ke taman belakang, dia tidak mendapatkan seorangpun.“ Aneh sekali”, gumamnya.“ Siapa yang mengirim seluruh santapan ini untukku?”, tanyanya heran.
Tetapi lagi-lagi Toba melupakan rasa heran di hatinya. Rasa lapar yang sedari tadi ditahannya membuatnya memutuskan buat makan, walaupun sebenarnya rasa pensaran itu juga sangat besar.
Ketika sore hari, Toba bersiap-siap buat berangkat pergi ke laut. Semalaman toba menjaring ikan di tengah laut, nasib sial rupanya belum mau meninggalkan dirinya. Toba kembali dengan tangan hampa. Dia tidak menemukan ikan seekorpun, tidak ada ikan yang mau masuk jaringnya. Diapun kembali ke rumah untuk beristirahat.
Siang hari kala bangun tidur, peristiwa yang sama terulang lagi, makan itu ternyata sudah ada lagi.“ Telah 3 hari ini seorang sediakan santapan lezat untukku. Siapakah ia? Apa artinya ini?”, gumam Toba penuh rasa heran. Toba makan sembari menyusun sesuatu rencana. Dia mau sekali mengetahui tentang siapa gerangan yang menyajikan santapan untuknya.
Keesokan paginya Toba pura-pura meninggalkan rumah. Dia hanya berangkat menengok sawahnya yang kering karena sudah lama kemarau panjang. Tidak berapa lama Toba kembali. Kali ini dia tidak langsung masuk ke dalam rumah. Toba berjalan mengendap-endap dengan perlahan mengarah pintu dapur dari taman di belakang rumahnya.
Dari jauh Toba mencium bau masakan.“ harum sekali, ada seseorang yang lagi memasak”, pikirnya sembari terus berjalan. Datang di pintu dapur, Toba mengintip melalui celah celah papan pintu. Dia memandang seseorang wanita cantik yang lagi sibuk memasak dengan riangnya. Tidak sabar, Toba lekas membuka pintu serta melangkah masuk dengan cepat. Si wanita terperanjat dan terkaget-kaget. Dia membalik badannya serta memandang Toba dengan mimik yang sangat kaget.
“ Siapa kau?”, tanya Toba.“ Gimana kau dapat masuk ke dalam rumahku ini…?”.kata Toba ke wanita cantik itu. Wanita itu terdiam sejenak karena masih kaget dengan dengan kehadiran Toba yang tiba-tiba masuk. Sembari menunduk dia mengatakan dengan pelan“ Akulah ikan yang kau temukan di laut tempo hari..”. Toba lekas berjalan memandang ikan yang ditaruhnya di tempayan. Ikan itu ternyata memang sudah tidak ada lagi di tempatnya.
“ Apa maksudmu?”, suara Toba agak meninggi.“ Gimana bisa jadi ikan dapat berganti jadi manusia semacam dirimu?”, tanyanya lagi. Toba masih belum yakin, dia masih berusaha mencerna keadaan ajaib yang dialaminya itu. “ Saya merupakan seseorang gadis yang dikutuk”, kata si wanita sembari memandang Toba.“ Kutukan itu lenyap bila terdapat manusia yang ingin memeliharaku”. Akhirnya si wanita menerangkan asal dirinya serta kenapa sampai dia dikutuk. Toba terkesima mendengar seluruh ceritanya.
“ Tetapi darimana kau memperoleh bahan santapan buat kau masak?”, tanya Toba. Sangat tidak masuk akal mengingat desanya yang lagi dilanda paceklik. “ Aku memanglah dibekali kekuatan dan keahlian untuk menyediakan bahan makanan buat kumasak. Keahlian itu semata-mata sebagai tanda terima kasih kepada siapapun yang bersedia memeliharaku dengan baik”, kata si wanita dengan pelan.
“ Tetapi saat ini keahlian itu telah lenyap sebab kau telah ketahui jati diriku”, lanjutnya lagi. Toba merasa iba pada wanita itu. Dia mempersilahkan si wanita buat senantiasa tinggal di rumahnya bila dia ingin. “apabila kau mau tinggal di rumahku, aku tidak akan melarangnya”. Mendengar jawaban Toba, Si wanita sangat bahagia.“ Dari tadi saya belum ketahui namamu”, kata Toba. “ Namaku Jelita Bang..”, kata si wanita.“ Apa kau tidak keberatan kupanggil abang?”, tanyanya. “ Oh tidak kenapa..”, jawab Toba. Dia mulai terpukau akan kecantikan Jelita.
Hari pun mulai berlalu. Toba serta Jelita hidup satu atap. Sangat aneh. Semenjak Toba berjumpa Jelita, dia senantiasa menemukan banyak ikan bila melaut. Para penduduk desa yang lain kemudian kembali ingin melaut bersamanya, karena melihat keberhasilan Toba.
Toba serta Jelita rupanya silih menyayangi, timbul rasa saling mengasihi diantara dua makhluk tersebut. Jelita langsung menerima kala Toba melamarnya. Cuma terdapat satu syarat yang diajukan Jelita. Dia memohon supaya Toba berjanji buat tidak mengatakan kepada siapapun asal usul dirinya. Tidak pula kepada anak mereka nanti. Toba mengatakan dia akan memegang teguh janjinya.
Acara pernikahan mereka diselenggarakan sangat sederhana. Para penduduk tidak curiga kala Toba mengakui Jelita sebagai seseorang wanita yatim piatu yang berasal dari desa yang sangat jauh. Tidak lama sehabis acara usai, hujan turun dengan derasnya. Para penduduk sangat bahagia sebab masa paceklik bakal segera usai. Toba serta Jelita hidup rukun. Mereka merupakan sejoli suami istri yang serasi. Pendamping ini dikaruniai seseorang anak laki laki yang mereka beri nama Samosir.
Samosir merupakan seseorang anak laki laki yang tampan. Tubuhnya tegap semacam bapaknya. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Samosir saat ini sudah berumur 10 tahun, dia berkembang menjadi anak yang ceria dan kuat.
Toba kemudian mulai mencoba lagi bertanam padi di sawah. Itu adalah pekerjaan yang sudah dilakoni keluarganya turun temurun. Setiap siang, Jelita senantiasa mengantarkan santapan buat suaminya. Terkadang Samosir dibawanya dan. Peluang itu mereka pakai buat bercengkrama.
Pada suati hari, Jelita merasa tidak enak badan karena sedikit sakit demam. Dia memohon Samosir untuk mengantarkan santapan untuk bapaknya. Samosir tidak keberatan. Dia merasa sangat bahagia dapat berjalan-jalan sendiri menuju kebun bapaknya tanpa ibunya. Dia merasa dirinya telah besar.
Di perjalanan tersebut, Samosir berjumpa dengan sahabat-sahabatnya yang mengajaknya bermain. Tanpa pikir panjang dia langsung bergabung dengan mereka tanpa berpikir panjang. Samosir kurang ingat akan tugas yang diberikan ibunya untuk mengantarkan makanan bapaknya. Hari telah menjelang sore kala Samosir teringat akan santapan bapaknya. Dengan separuh berlari, Samosir bergegas ke sawah dengan tergesa-gesa.
Hingga disitu dilihatnya bapaknya lagi terduduk lemas di pinggir sawah.“ Dari mana saja kau? mana ibumu?”, bentak Toba marah. Dia sangat lapar. Samosir khawatir sekali melihat wajah bapaknya. Belum pernah dia memandang bapaknya semarah itu kepadanya.
“ Bunda sakit, Pak…”, kata Samosir sembari menunduk.“ Bunda meminta tolong saya buat mengantar santapan ini”.
“ Mengapa kau lama sekali…?”, sergah Toga. Marahnya belum reda.
“ Maafkan saya Pak. Saya kurang ingat. Saya asik bermain dengan teman temanku”, suara Samosir bergetar menahan tangis.
“ Ya sudah. Bawa kemari santapan itu”, kata Toba. Suaranya mulai melunak.“ Jangan kau ulangi lagi perbuatanmu ini. Nyaris pingsan bapakmu ini kau buat..”. Sore itu, bapak serta anak berjalan kembali ke rumah tanpa bercengkerama. Mereka memilih untuk diam.
Keesokan harinya Jelita belum sehat. Dia belum kokoh untuk mengantarkan santapan buat suaminya. Jelita memohon tolong Samosir sembari berpesan supaya jangan terlambat. Toba sudah menggambarkan kealpaan Samosir kemarin kepadanya.
Siang itu hawa sangat panas. Matahari bersinar begitu teriknya. Samosir merasa dirinya letih. Dia memutuskan buat istirahat sejenak dibawah tumbuhan. Angin semilir buatnya tertidur. Hari telah menjelang sore kala dia terbangun.
Alangkah terkejutnya Samosir kala menyadari dirinya kembali terlambat mengantarkan santapan buat bapaknya. Hari ini bahkan lebih terlambat dari kemarin. Tanpa berpikir lagi Samosir berlari mengarah ke sawah. Dari jauh dia memandang bapaknya lagi duduk sendirian di pinggir sawah.
“ Darimana saja kau?”, teriak bapaknya begitu memandang kehadiran Samosir.“ Kau berniat membiarkan saya kelaparan disini??”, bentaknya lagi. Hari yang panas membuatnya sangat capai dan letih. Emosinya sudah tidak terkendali lagi.
“ Mengapa kau diam saja?”, kembali Toba membentak anaknya. Samosir tidak sanggup memandang bapaknya. Dia cuma diam menunduk.“ Jawab!!”, suara Toba terdengar menggelegar. Dengan penuh amarah dia menggapai bungkusan santapan yang dibawa anaknya serta melemparnya ke sawah.“ Dasar anak ikan..!!”, ucapnya lagi. Tangannya gemetar menahan marah kepada anaknya.
Samosir teramat sekali kaget mendengar makian bapaknya itu.“ Mengapa ayah bilang saya anak ikan?”, tanyanya dengan berurai air mata.
“ Memanglah kau anak ikan..!! Ibumu itu tadinya seekor ikan..!!”, jawab Toba dengan nada tinggi. Samosir berputar arah serta berlari meninggalkan bapaknya. Toba terkesiap dan tersadar. Mendadak itu pula dia ingat bahwa dia sudah melanggar janji kepada istrinya. Toba lekas berlari menyusul Samosir sembari memanggil-manggil anaknya. Samosir tidak mau menoleh dan mendengar. Dia terus berlari sembari menangis.
“ Kata bapak saya anak ikan bu…”, kata Samosir sesegukan.“ Apa benar bunda tadinya seekor ikan?”, tanya Samosir sembari menengadah memandang wajah ibunya. Airmatanya mengalir deras.
Bagai tersambar petir Jelita mendengar penuturan anaknya. Jantungnya berdegub kencang. Mukanya pucat. Toba yang baru datang di depan pintu rumahnya tidak sanggup berbuat apa-apa memandang istri serta anaknya yang berpelukan sembari menangis, tampak penyesalan yang dalam di wajah Toba.
Jelita yang menyadari kehadiran suaminya lekas mengatakan, matanya sayu penuh dengan penyesalan yang teramat dalam kepada Toba“ Kenapa abang melanggar janji…??”, tanyanya dengan nada kecewa yang mendalam sambil menangis. “ Rupanya kebersamaan kita ditakdirkan cuma hingga disini.. Aku harus meninggalkan Abang, karena itu adalah pantangan yang tidak boleh dilanggar”, kata Jelita dengan suara parau dan pelan. Dia kemudian menuntun Samosir berjalan keluar rumah denagn memegang tangan anak kecil itu.
“ Maafkan abang, wahai istriku Jelita..”, kata Toba sembari berupaya menahan kepergian istri serta anaknya, dia masih sangat mencintai istri dan anaknya, tidak rela ditinggalkan oleh orang yang dicintainya.
“ Terlambat bang…”, jawab Jelita tegas.“ Saya harus meninggalkanmu untuk selamanya. Samosir akan kubawa bersamaku.”, jawab Jelita sembari terus berjalan meninggalkan rumah. Samosir yang tidak paham cuma diam saja, dia memandang wajah bapaknya yang penuh penyesalan dan kesedihan.
Toba berteriak-teriak memanggil istri serta anaknya dengan sedih. Tetapi Jelita serta Samosir tidak bergeming. Mereka terus berjalan. Tidak berapa lama setelah itu langit pun menjadi hitam gulita. Hujan turun dengan derasnya. Kilat menyambar-nyambar desa itu secara menyilaukan mata.
Sangat aneh. Hujan deras tidak berhenti dalam beberapa hari, langit masih tampak hitam dan masih terus mengeluarkan air yang seolah-olah tidak ada habisnya. Desa tempat tinggal Toba tenggelam dibuatnya. Genangan air kian lama kian melebar membentuk genangan yang semakin lama menjadi semakin besar. Seperti itu yang diketahui bagaikan Danau Toba saat ini. Kala banjir menyerang desa, Jelita serta Samosir sudah tiba di suatu dataran yang besar. Mereka tidak turut tenggelam karena berada di pulau itu. Dataran itu saat ini diketahui sebagai Pulau Samosir yang terletak ditengah-tengah Danau Toba.
Post a Comment
Post a Comment