Masa Kecil Banta Barensyah
Ini adalah Kisah Banta Barensyah Yang Pandai Meniup Seruling. Dikisahkan di suatu dusun kecil di daerah Aceh, hiduplah seseorang wanita janda dengan seseorang anak laki-laki semata wayangnya yang mempunyai nama Banta Berensyah. Banta Berensyah merupakan seseorang anak yang sangat giat serta sangat pintar bermain seruling. Anaknya cerdas, sorot matanya tajam, menandakan daya pandang dan tekad yang kuat.
Bunda dan anak itu hidup di suatu gubuk bambu kecil yang beratapkan daun ilalang serta alasnya cuma dedaunan kering dengan keadaan nyaris roboh. Walaupun hidup dalam keadaan yang seperti itu Mereka sepertinya sangat bersyukur kepada Allah.
Tiap hujan turun, air hujan dengan gampang masuk ke dalamnya. Rumah gubuk itu sangat tidak layak huni lagi. Tetapi apa hendak diperbuat, jangankan buat membetulkan gubuk itu, sebaliknya buat makan tiap hari saja kedua orang itu kesusahan.
Sebagai sarana untuk melangsungkan hidup, bunda serta anak itu bekerja dengan cara membantu menampi sekam di suatu penggilingan padi kepunyaan saudara bundanya yang mempunyai nama Jakub. Dia adalah adik dari ibunya satu-satunya.
Sebagai sarana untuk melangsungkan hidup, bunda serta anak itu bekerja dengan cara membantu menampi sekam di suatu penggilingan padi kepunyaan saudara bundanya yang mempunyai nama Jakub. Dia adalah adik dari ibunya satu-satunya.
Saudagar Jakub yang Pelit
Jakub adalah saudagar kaya di dusun itu. Tetapi, dia populer dengan sifat kikir, loba, serta tamak. Seluruh perbuatannya senantiasa diperhitungkan guna memperoleh keuntungan sendiri. Terkadang dia cuma mengupahi bunda Banta Berensyah dengan segenggam ataupun dua genggaman beras saja. Beras itu cuma cukup untuk dimakan satu hari oleh janda itu dengan anaknya.
Di suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat penggilingan padi tanpa ditemani Banta Berensyah, sebab anaknya sedang sakit. Betapa kecewanya dia dikala datang di tempat itu. Tidak seseorang juga yang menumbuk padi. Dengan begitu, pasti dia tidak bisa menampi sekam serta mendapatkan upah beras. Dengan perasaan kecewa serta pilu, wanita paruh baya itu kembali ke gubuknya. Setibanya di gubuk, dia langsung mendatangi anak semata wayangnya yang lagi terbaring lemas. Wajah anak itu nampak pucat serta badannya menggigil, sebab semenjak pagi perutnya belum terisi sedikit pun dengan sesuap makanan.
“ Bunda...! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.
Janda itu cuma terdiam sembari memandang lembut anaknya. Sesungguhnya, hati kecilnya teriris- iris mendengar rengekan putranya itu. Tetapi, dia tidak dapat berbuat apa- apa, sebab tidak terdapat sama sekali santapan yang tersisa. Cuma ada segelas air putih saja yang terletak di samping anaknya. Dengan perlahan-lahan, dia mencapai gelas itu serta mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas itu bagaikan pengganti santapan agar melenyapkan rasa laparnya. Sehabis meminum air itu, Banta merasa badannya sedikit menemukan sedikit kekuatan. Dengan penuh kasih sayang, dia memandang wajah bundanya. Kemudian, lambat-laun dia bangkit dari tidurnya seraya mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata bundanya.
“ Mengapa bunda menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.
Mulut wanita paruh baya itu belum dapat berucap apa- apa. Dengan mata berkaca- kaca, dia cuma menghela napas panjang. Banta juga memandang lebih dalam ke arah mata bundanya. Sesungguhnya, dia paham alibi mengapa bundanya menangis.
“ Bu! Banta ketahui kenapa Bunda meneteskan air mata. Bunda menangis sebab pilu tidak mendapatkan upah hari ini,” ungkap Banta.
“ Sudahlah, Bu! Banta ketahui, Bunda telah berupaya keras mencari nafkah supaya kita dapat makan. Barangkali nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.
Mendengar perkataan Banta Berensyah, wanita paruh baya itu tersentak. Dia tidak sempat mengira tadinya bila anak semata wayangnya, yang sepanjang ini dianggapnya masih kecil itu, nyatanya pikirannya telah lumayan berusia. Dengan perasaan senang, dia merangkul badan putranya sembari meneteskan air mata. Perasaan senang itu seolah- olah sudah menghapus seluruh kepedihan serta keletihan batin yang sepanjang ini membebani hidupnya.
“ Banta, Anakku! Bunda bangga sekali memiliki anak sepertimu. Bunda sangat sayang kepadamu, Anakku,” ucap Bunda Banta dengan perasaan haru.
Kasih sayang serta atensi bundanya itu betul- betul berikan semangat baru kepada Banta Berensyah. Badannya yang lemas, seketika kembali bertenaga. Dia setelah itu memandang wajah bundanya yang nampak pucat. Dia siuman kalau dikala ini bundanya tentu lagi lapar. Oleh sebab itu, dia memohon izin kepada bundanya hendak berangkat ke rumah pamannya, Jakub, buat memohon beras. Tetapi, bundanya mencegahnya, sebab dia sudah menguasai perangai saudaranya yang kikir itu.
“ Jangan, Anakku! Bukankah ananda ketahui sendiri jika pamanmu itu sangat perhitungan. Dia pasti tidak hendak memberimu beras saat sebelum ananda bekerja,” ucap Bunda Banta.
“ Banta paham, Bu! Tetapi, apa salahnya bila kita mencobanya terlebih dahulu. Barangkali paman akan merasa iba dan memandang kondisi kita yang melarat ini,” kata Banta Berensyah, meyakinkan bundanya.
Berulang kali bundanya mencegahnya, karena dia sangat faham sifat dari adiknya yangkikir dan licik, tetapi Banta Berensyah tetap teguh dan bersikeras berangkat ke rumah pamannya itu. pada akhirnya, wanita yang sudah melahirkannya itu pasrah dan memberikan izin. maka, berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya yang kikir itu. Dikala dia masuk ke pekarangan rumah pamannya, seketika terdengar suara keras membentaknya dari dalam rumah. Suara itu tidak lain ialah suara pamannya.
“ Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis di rumahku yang mewah ini, aku sudah muak mendengarnya!” hardik saudagar yang kaya itu.
“ Paman, kasihanilah kami, bukankah kami adalah keluargamu juga! Berikanlah kepada kami segenggam beras, kami sangat lapar!” Banta Berensyah berusaha mengiba kepada pamannya.
“ Ah, persetan dengan keadaanmu itu, itu sudah menjadi nasibmu. Kamu lapar ataupun mati sekaligus juga, saya tidak perduli, tidak ada hubungannya denganku!” saudagar itu kembali menghardiknya dengan perkata yang lebih menyakitkan lagi, matanya melotot sambil tangannya mengacung lurus kepada Banta Barensyah.
Betapa kecewa serta sakitnya hati Banta Berensyah mendengar makian pamannya. Bukanlah beras yang diperoleh dari pamannya itu, melainkan cacian serta makian yang sangat menyakitkan hati. Dia kembali ke rumahnya dengan perasaan pilu serta jengkel sambil memegang perutnya yang lapar. Tidak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya, "mengapa nasib keluarganya seperti ini, aku harus merubah nasib keluargaku", sambil berjalan pulang dia berpikir.
Banta Barensyah Mengembara Untuk Mendapatkan Baju dari Emas dan Suasa
Di suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat penggilingan padi tanpa ditemani Banta Berensyah, sebab anaknya sedang sakit. Betapa kecewanya dia dikala datang di tempat itu. Tidak seseorang juga yang menumbuk padi. Dengan begitu, pasti dia tidak bisa menampi sekam serta mendapatkan upah beras. Dengan perasaan kecewa serta pilu, wanita paruh baya itu kembali ke gubuknya. Setibanya di gubuk, dia langsung mendatangi anak semata wayangnya yang lagi terbaring lemas. Wajah anak itu nampak pucat serta badannya menggigil, sebab semenjak pagi perutnya belum terisi sedikit pun dengan sesuap makanan.
“ Bunda...! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.
Janda itu cuma terdiam sembari memandang lembut anaknya. Sesungguhnya, hati kecilnya teriris- iris mendengar rengekan putranya itu. Tetapi, dia tidak dapat berbuat apa- apa, sebab tidak terdapat sama sekali santapan yang tersisa. Cuma ada segelas air putih saja yang terletak di samping anaknya. Dengan perlahan-lahan, dia mencapai gelas itu serta mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas itu bagaikan pengganti santapan agar melenyapkan rasa laparnya. Sehabis meminum air itu, Banta merasa badannya sedikit menemukan sedikit kekuatan. Dengan penuh kasih sayang, dia memandang wajah bundanya. Kemudian, lambat-laun dia bangkit dari tidurnya seraya mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata bundanya.
“ Mengapa bunda menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.
Mulut wanita paruh baya itu belum dapat berucap apa- apa. Dengan mata berkaca- kaca, dia cuma menghela napas panjang. Banta juga memandang lebih dalam ke arah mata bundanya. Sesungguhnya, dia paham alibi mengapa bundanya menangis.
“ Bu! Banta ketahui kenapa Bunda meneteskan air mata. Bunda menangis sebab pilu tidak mendapatkan upah hari ini,” ungkap Banta.
“ Sudahlah, Bu! Banta ketahui, Bunda telah berupaya keras mencari nafkah supaya kita dapat makan. Barangkali nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.
Mendengar perkataan Banta Berensyah, wanita paruh baya itu tersentak. Dia tidak sempat mengira tadinya bila anak semata wayangnya, yang sepanjang ini dianggapnya masih kecil itu, nyatanya pikirannya telah lumayan berusia. Dengan perasaan senang, dia merangkul badan putranya sembari meneteskan air mata. Perasaan senang itu seolah- olah sudah menghapus seluruh kepedihan serta keletihan batin yang sepanjang ini membebani hidupnya.
“ Banta, Anakku! Bunda bangga sekali memiliki anak sepertimu. Bunda sangat sayang kepadamu, Anakku,” ucap Bunda Banta dengan perasaan haru.
Kasih sayang serta atensi bundanya itu betul- betul berikan semangat baru kepada Banta Berensyah. Badannya yang lemas, seketika kembali bertenaga. Dia setelah itu memandang wajah bundanya yang nampak pucat. Dia siuman kalau dikala ini bundanya tentu lagi lapar. Oleh sebab itu, dia memohon izin kepada bundanya hendak berangkat ke rumah pamannya, Jakub, buat memohon beras. Tetapi, bundanya mencegahnya, sebab dia sudah menguasai perangai saudaranya yang kikir itu.
“ Jangan, Anakku! Bukankah ananda ketahui sendiri jika pamanmu itu sangat perhitungan. Dia pasti tidak hendak memberimu beras saat sebelum ananda bekerja,” ucap Bunda Banta.
“ Banta paham, Bu! Tetapi, apa salahnya bila kita mencobanya terlebih dahulu. Barangkali paman akan merasa iba dan memandang kondisi kita yang melarat ini,” kata Banta Berensyah, meyakinkan bundanya.
Berulang kali bundanya mencegahnya, karena dia sangat faham sifat dari adiknya yangkikir dan licik, tetapi Banta Berensyah tetap teguh dan bersikeras berangkat ke rumah pamannya itu. pada akhirnya, wanita yang sudah melahirkannya itu pasrah dan memberikan izin. maka, berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya yang kikir itu. Dikala dia masuk ke pekarangan rumah pamannya, seketika terdengar suara keras membentaknya dari dalam rumah. Suara itu tidak lain ialah suara pamannya.
“ Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis di rumahku yang mewah ini, aku sudah muak mendengarnya!” hardik saudagar yang kaya itu.
“ Paman, kasihanilah kami, bukankah kami adalah keluargamu juga! Berikanlah kepada kami segenggam beras, kami sangat lapar!” Banta Berensyah berusaha mengiba kepada pamannya.
“ Ah, persetan dengan keadaanmu itu, itu sudah menjadi nasibmu. Kamu lapar ataupun mati sekaligus juga, saya tidak perduli, tidak ada hubungannya denganku!” saudagar itu kembali menghardiknya dengan perkata yang lebih menyakitkan lagi, matanya melotot sambil tangannya mengacung lurus kepada Banta Barensyah.
Betapa kecewa serta sakitnya hati Banta Berensyah mendengar makian pamannya. Bukanlah beras yang diperoleh dari pamannya itu, melainkan cacian serta makian yang sangat menyakitkan hati. Dia kembali ke rumahnya dengan perasaan pilu serta jengkel sambil memegang perutnya yang lapar. Tidak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya, "mengapa nasib keluarganya seperti ini, aku harus merubah nasib keluargaku", sambil berjalan pulang dia berpikir.
Banta Barensyah Mengembara Untuk Mendapatkan Baju dari Emas dan Suasa
Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar berita dari seseorang penduduk yang kebetulan lewat bahwasanya ada seorang raja di suatu negeri yang posisinya tidak berapa jauh dari dusunnya hendak mengadakan suatu sayembara pernikahan. Raja di negara itu memiliki seseorang gadis yang menawan jelita nan rupawan. putri tersebut bagaikan bidadari yang menghimpun seluruh pesona lahir serta batin. Kulitnya sangat halus, putih, serta bersih. Saking putihnya, kulit gadis itu seolah-olah tembus pandang. Bila dia menelan sebuah makanan, maka seolah- olah makanan itu nampak turun melalui ditenggorokannya, karena saking putihnya kulit gadis tersebut. Karena itu sebabnya, dia diberi nama Putri Terus Mata. Tiap pemuda yang memandang kecantikannya tentu pasti akan tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Telah banyak berbagai pangeran, bangsawan, hingga rakyat jelata yang datang ingin meminangnya, tetapi belum satu juga pinangan yang diterima olehnya. Putri Terus Mata hanya hendak menerima lamaran untuk siapa saja, yang mampu mencarikannya sebuah baju yang dibuat dari emas serta suasa.
Mendengar berita itu, Banta Berensyah mencuat keinginannya untuk mengadu nasib. Dia berharap dengan menikah dengan si Gadis, hidupnya akan jadi lebih baik dan sejahtera. Siapa sangka dia akan bernasib baik, pikirnya. Dia kemudian bergegas kembali ke rumahnya menemui bundanya. Setibanya di gubuk itu, dia langsung duduk di dekat bundanya. Sembari mendekatkan mukanya yang sedikit pucat sebab keadaan lapar, Banta Barensyah kemudian menyampaikan maksud hatinya untuk menjajaki sayembara tersebut kepada bundanya. Dia berupaya membujuk bundanya supaya keinginannya dikabulkan.
“ Bu! Banta sangat sayang serta mau terus hidup di samping bunda. Bunda sudah berupaya membagikan yang terbaik buat Banta. Saat ini Banta nyaris beranjak berusia. Saatnya Banta wajib bekerja keras membagikan yang terbaik buat Bunda. Bila Bunda merestui hasrat tulus ini, izinkanlah Banta merantau buat mengganti nasib hidup kita!” pinta Banta Berensyah.
Wanita paruh baya itu tidak sanggup lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak semata wayangnya itu.
Dia juga memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.
“ Banta, Anakku! engkau ialah anak yang berbakti kepada orangtua. Bila itu telah jadi tekadmu, Bunda mengizinkanmu meski dengan berat hati wajib berpisah denganmu,” kata wanita paruh baya itu.
“ Tetapi, gimana ananda dapat merantau ke negara lain, Anakku? Apa bekalmu di ekspedisi nanti? Jangankan buat ongkos kapal serta bekal, buat makan tiap hari juga kita tidak memiliki,” tambahnya.
“ Bunda tidak usah memikirkan permasalahan itu. berikan doa serta restu Bunda menyertai Banta,” kata Banta Berensyah.
Mendengar berita itu, Banta Berensyah mencuat keinginannya untuk mengadu nasib. Dia berharap dengan menikah dengan si Gadis, hidupnya akan jadi lebih baik dan sejahtera. Siapa sangka dia akan bernasib baik, pikirnya. Dia kemudian bergegas kembali ke rumahnya menemui bundanya. Setibanya di gubuk itu, dia langsung duduk di dekat bundanya. Sembari mendekatkan mukanya yang sedikit pucat sebab keadaan lapar, Banta Barensyah kemudian menyampaikan maksud hatinya untuk menjajaki sayembara tersebut kepada bundanya. Dia berupaya membujuk bundanya supaya keinginannya dikabulkan.
“ Bu! Banta sangat sayang serta mau terus hidup di samping bunda. Bunda sudah berupaya membagikan yang terbaik buat Banta. Saat ini Banta nyaris beranjak berusia. Saatnya Banta wajib bekerja keras membagikan yang terbaik buat Bunda. Bila Bunda merestui hasrat tulus ini, izinkanlah Banta merantau buat mengganti nasib hidup kita!” pinta Banta Berensyah.
Wanita paruh baya itu tidak sanggup lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak semata wayangnya itu.
Dia juga memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.
“ Banta, Anakku! engkau ialah anak yang berbakti kepada orangtua. Bila itu telah jadi tekadmu, Bunda mengizinkanmu meski dengan berat hati wajib berpisah denganmu,” kata wanita paruh baya itu.
“ Tetapi, gimana ananda dapat merantau ke negara lain, Anakku? Apa bekalmu di ekspedisi nanti? Jangankan buat ongkos kapal serta bekal, buat makan tiap hari juga kita tidak memiliki,” tambahnya.
“ Bunda tidak usah memikirkan permasalahan itu. berikan doa serta restu Bunda menyertai Banta,” kata Banta Berensyah.
Baca Juga
Sehabis menemukan restu dari bundanya, Banta Berensyah juga berangkat ke suatu tempat yang hening buat meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sehabis tadi malam suntuk berdoa dengan penuh khusyuk, kesimpulannya dia juga menemukan petunjuk supaya bawa sehelai daun talas serta suling miliknya ke perantauan. Daun talas itu hendak dia pakai buat mengarungi laut luas mengarah ke tempat yang hendak ditujunya. Sebaliknya suling itu hendak dia pakai sebagai sarana menghibur para tukang tenun untuk membayar bayaran kain emas serta suasa yang ia perlukan.
Keesokan harinya, usai berpamitan kepada bundanya, Banta Berensyah juga berangkat ke rumah pamannya, Jakub. Dia bermaksud memohon tumpangan di kapal pamannya yang hendak berlayar ke negara lain. Setibanya di situ, dia kembali dibentak oleh pamannya.
“ Kenapa lagi engkau kemari, hai anak malas!” seru si Paman.
“ Paman! Bolehkah Ananda turut berlayar hingga ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.
Jakub tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Dia berpikir kalau keponakannya itu hendak bunuh diri di tengah laut lepas. Dengan bahagia hati, dia mengizinkannya. Dia merasa hidupnya akan tenang bila anak itu sudah mati, sebab tidak akan ada lagi yang meminta- minta kepadanya. Banta Berensyah akhirnya turut berlayar dengan pamannya. Begitu kapal yang mereka tumpangi sampai di tengah- tengah samudra, Banta memohon kepada pamannya supaya menurunkannya dari kapal.
“ Paman! Ekspedisiku dengan Paman cukuplah sampai di sini saja. Tolong turunkan Nanda dari kapal ini!” pinta Banta Berensyah.
Keajaiban Banta Barensyah yang Mampu Duduk di Atas Daun Talas
Saudagar kaya itu lekas memerintahkan anak buahnya guna menurunkan Banta Berensyah ke laut. Tetapi saat sebelum diturunkan, Banta membuat suatu lipatan daun talas yang diselempitkan di balik pakaiannya. Setelah itu dia membuka lipatan daun talas itu seraya duduk bersila di atasnya. Memandang kelakuan Banta itu, Jakub menertawainya.
“ Ha... ha... ha...! Dasar anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.
“ Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Perkenankan saja ia mati dimakan ikan besar!” serunya.
Tetapi, betapa terkejutnya saudagar kaya itu serta para anak buahnya sehabis menurunkan tubuh Banta Berensyah ke laut. Nyatanya, sehelai daun talas itu sanggup menahan badan Banta Berensyah di atas air. Dengan dorongan angin, daun talas itu bawa Banta mengarah ke arah barat, sebaliknya pamannya berlayar mengarah ke arah utara.
Banta Barensyah Mendapatkan Baju dari Emas dan Suasa
“ Ha... ha... ha...! Dasar anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.
“ Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Perkenankan saja ia mati dimakan ikan besar!” serunya.
Tetapi, betapa terkejutnya saudagar kaya itu serta para anak buahnya sehabis menurunkan tubuh Banta Berensyah ke laut. Nyatanya, sehelai daun talas itu sanggup menahan badan Banta Berensyah di atas air. Dengan dorongan angin, daun talas itu bawa Banta mengarah ke arah barat, sebaliknya pamannya berlayar mengarah ke arah utara.
Banta Barensyah Mendapatkan Baju dari Emas dan Suasa
Sehabis berhari- hari terombang- ambing di atas daun talas dihempas gelombang samudra, Banta Berensyah sampai di suatu pulau. Dikala awal kali menginjakkan kaki di pulau itu, dia terpukau melihat panorama alam yang sangat indah serta menawan. Nyaris di tiap rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan bermacam motif serta corak lagi dijemur. Warnanya, nyaris segala penduduk di pulau itu ialah tukang tenun.
Banta juga mampir ke salah satu rumah penduduk guna menanyakan perihal kain emas serta suasa yang lagi dicarinya. Tetapi, orang di rumah itu tidak mempunyai tipe kain tersebut. Dia kemudian pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya, ternyata pemiliki rumah itu juga tidak memiliki apa yang dimintanya. Berhari- hari dia berkelana kampung serta merambah rumah penduduk satu persatu, tetapi kain yang dicarinya belum pula dia temukan. Tinggal satu rumah lagi yang belum dia masuki, ialah rumah kepala kampung yang juga seorang tukang tenun.
“ Tok... Tok... Tok..! Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah sehabis mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.
kemudian, seseorang pria paruh baya membuka pintu serta mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.
“ Apakah yang dapat kubantu, Anak Muda?” tanya ketua kampung itu.
Sehabis memperkenalkan asal usul dan dirinya, Banta kemudian mengantarkan iktikad kedatangannya.
“ Maaf, Tuan! Kehadiran aku kemari hendak mencari kain tenun yang dibuat dari emas serta suasa. Bila Tuan memilikinya, bolehkah aku membelinya?” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan Banta, terlebih sehabis memandang penampilan Banta yang sangat simpel itu.
“ Hai, Banta! Dengan apa engkau dapat membayar kain emas serta suasa itu? Apakah engkau memiliki harta yang pantas buat membayarnya?”
“ Maaf, Tuan! Aku memanglah tidak sanggup membayarnya dengan harta. Tetapi, bila Tuan berkenan, bolehkah aku membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya menghasilkan sulingnya.
Memandang keteguhan hati Banta Berensyah hendak mempunyai kain tenun tersebut, kepala kampung itu kembali bertanya kepadanya.
“ Banta! Jika boleh aku ketahui, mengapa engkau sangat menginginkan kain itu?”
Banta kemudian menggambarkan sebabnya mengapa dia ingin berjuang buat memperoleh kain tersebut. Sebab iba mendengar cerita Banta, kepala kampung itu penuhi permintaannya. Dengan keahliannya, Banta juga memainkan sulingnya dengan lagu- lagu yang merdu. Kepala kampung itu betul- betul terbuai menikmati senandung lagu yang dibawakan Banta. Sehabis puas menikmatinya, dia juga meberikan selembar kain emas serta suasa miliknya kepada Banta.
“ engkau sangat pintar bermain seruling, Banta! Engkau memang pantas memperoleh kain emas serta suasa ini,” ucap kepala kampung itu dengan penuh ketakjuban melihat kemampuannya memainkan alat musik itu.
“ Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta pasti senantiasa akan selalu mengingat seluruh kebaikan hati Tuan,” kata Banta Barensyah.
Sehabis memperoleh kain emas serta suasa tersebut, Banta kemudian meninggalkan pulau itu untuk mengikuti sayembara. Dia berlayar mengarungi lautan luas mengarah ke kampung tamannya dengan memakai daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangat gembira. Dia tidak sabar dan sangat antusias mau mengantarkan kabar gembira itu kepada bundanya serta lekas mempersembahkan kain emas serta suasa itu kepada Putri Terus Mata yang diidamkannya.
Pengkhianatan Jakub yang Licik
Banta juga mampir ke salah satu rumah penduduk guna menanyakan perihal kain emas serta suasa yang lagi dicarinya. Tetapi, orang di rumah itu tidak mempunyai tipe kain tersebut. Dia kemudian pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya, ternyata pemiliki rumah itu juga tidak memiliki apa yang dimintanya. Berhari- hari dia berkelana kampung serta merambah rumah penduduk satu persatu, tetapi kain yang dicarinya belum pula dia temukan. Tinggal satu rumah lagi yang belum dia masuki, ialah rumah kepala kampung yang juga seorang tukang tenun.
“ Tok... Tok... Tok..! Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah sehabis mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.
“ Apakah yang dapat kubantu, Anak Muda?” tanya ketua kampung itu.
Sehabis memperkenalkan asal usul dan dirinya, Banta kemudian mengantarkan iktikad kedatangannya.
“ Maaf, Tuan! Kehadiran aku kemari hendak mencari kain tenun yang dibuat dari emas serta suasa. Bila Tuan memilikinya, bolehkah aku membelinya?” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan Banta, terlebih sehabis memandang penampilan Banta yang sangat simpel itu.
“ Hai, Banta! Dengan apa engkau dapat membayar kain emas serta suasa itu? Apakah engkau memiliki harta yang pantas buat membayarnya?”
“ Maaf, Tuan! Aku memanglah tidak sanggup membayarnya dengan harta. Tetapi, bila Tuan berkenan, bolehkah aku membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya menghasilkan sulingnya.
Memandang keteguhan hati Banta Berensyah hendak mempunyai kain tenun tersebut, kepala kampung itu kembali bertanya kepadanya.
“ Banta! Jika boleh aku ketahui, mengapa engkau sangat menginginkan kain itu?”
Banta kemudian menggambarkan sebabnya mengapa dia ingin berjuang buat memperoleh kain tersebut. Sebab iba mendengar cerita Banta, kepala kampung itu penuhi permintaannya. Dengan keahliannya, Banta juga memainkan sulingnya dengan lagu- lagu yang merdu. Kepala kampung itu betul- betul terbuai menikmati senandung lagu yang dibawakan Banta. Sehabis puas menikmatinya, dia juga meberikan selembar kain emas serta suasa miliknya kepada Banta.
“ engkau sangat pintar bermain seruling, Banta! Engkau memang pantas memperoleh kain emas serta suasa ini,” ucap kepala kampung itu dengan penuh ketakjuban melihat kemampuannya memainkan alat musik itu.
“ Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta pasti senantiasa akan selalu mengingat seluruh kebaikan hati Tuan,” kata Banta Barensyah.
Sehabis memperoleh kain emas serta suasa tersebut, Banta kemudian meninggalkan pulau itu untuk mengikuti sayembara. Dia berlayar mengarungi lautan luas mengarah ke kampung tamannya dengan memakai daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangat gembira. Dia tidak sabar dan sangat antusias mau mengantarkan kabar gembira itu kepada bundanya serta lekas mempersembahkan kain emas serta suasa itu kepada Putri Terus Mata yang diidamkannya.
Pengkhianatan Jakub yang Licik
Tetapi, nasib malang mengenai Banta. Kala sampai di tengah laut itu, dia malah berjumpa dengan kapal Jakub yang baru saja kembali berlayar dari negara lain. Melihat Banta barensyah yang membawa kain emas, Jakub memanggilnya. Di kala dia menaiki kapal itu, kain emas serta suasa yang diperolehnya dengan sangat sulit dirampas oleh Jakub dengan bantuan para pengawalnya. Sehabis kainnya dirampas, Banta kemudian dibuang ke tengah laut. Dengan perasaan bangga dan senang, Jakub membawa kain tersebut guna mempersunting Putri Terus Mata. Dalam pikir Jakub sudah terbayang betapa senangnya dia akan menjadi suami dari sang putri yang sangat cantik, putih dan molek tersebut, tidak mengingat dirinya sendiri yang sudah tua dan berwajah jelek.
Banta yang dibuang di tengah laut, hanyut terbawa arus gelombang laut kemudian terdampar di suatu tepi laut kemudian ditemukan oleh suami- istri yang lagi mencari kerang di pinggir pantai. Sejoli suami-istri itu kemudian membawa tubuhnya yang tidak sadarkan diri ke tepi. mereka merawat dan mengangkatnya bagaikan anak sendiri. Setelah sehat kembali dan lama hidup dan dengan kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta kemudian meminta izin untuk kembali ke kampung halamanya menemui bundanya dengan memakai daun talas saktinya. Setiba di gubuknya, dia kemudian disambut oleh bundanya dengan perasaan suka- cita. Setelah itu, Banta kemudian menggambarkan seluruh peristiwa yang sudah dialaminya.
“ Maafkan Banta, Bu! Sesungguhnya Banta sudah sukses memperoleh kain emas serta suasa itu, namun Paman Jakub merampasnya,” Banta menceritakan kepada bundanya dengan perasaan kecewa.
“ Sudahlah, Anakku! Bunda paham perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting gadis raja,” ucap Bundanya.
“ Tetapi, Bu! Banta wajib memperoleh kembali kain emas serta suasa itu dari Paman. Kain itu kepunyaan Banta,” kata Banta dengan tekad keras.
“ Seluruhnya telah terlambat, Anakku!” sahut bundanya.
" Apa iktikad Bunda mengatakan begitu?” tanya Banta penasaran.
“ Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memanglah sangat beruntung. Dikala ini, acara perkawinannya dengan gadis raja lagi dilangsungkan di istana,” ungkap bundanya.
Banta Barensyah Berhasil Memenangkan Sayembara Putri Terus Mata
Banta yang dibuang di tengah laut, hanyut terbawa arus gelombang laut kemudian terdampar di suatu tepi laut kemudian ditemukan oleh suami- istri yang lagi mencari kerang di pinggir pantai. Sejoli suami-istri itu kemudian membawa tubuhnya yang tidak sadarkan diri ke tepi. mereka merawat dan mengangkatnya bagaikan anak sendiri. Setelah sehat kembali dan lama hidup dan dengan kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta kemudian meminta izin untuk kembali ke kampung halamanya menemui bundanya dengan memakai daun talas saktinya. Setiba di gubuknya, dia kemudian disambut oleh bundanya dengan perasaan suka- cita. Setelah itu, Banta kemudian menggambarkan seluruh peristiwa yang sudah dialaminya.
“ Maafkan Banta, Bu! Sesungguhnya Banta sudah sukses memperoleh kain emas serta suasa itu, namun Paman Jakub merampasnya,” Banta menceritakan kepada bundanya dengan perasaan kecewa.
“ Sudahlah, Anakku! Bunda paham perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting gadis raja,” ucap Bundanya.
“ Tetapi, Bu! Banta wajib memperoleh kembali kain emas serta suasa itu dari Paman. Kain itu kepunyaan Banta,” kata Banta dengan tekad keras.
“ Seluruhnya telah terlambat, Anakku!” sahut bundanya.
" Apa iktikad Bunda mengatakan begitu?” tanya Banta penasaran.
“ Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memanglah sangat beruntung. Dikala ini, acara perkawinannya dengan gadis raja lagi dilangsungkan di istana,” ungkap bundanya.
Banta Barensyah Berhasil Memenangkan Sayembara Putri Terus Mata
Tanpa berpikir panjang, Banta lekas berpamitan kepada bundanya kemudian bergegas mengarah ke tempat acara itu dilaksanakan. Tetapi, setibanya di kerumunan acara yang berlangsung meriah itu, Banta tidak bisa berbuat apa- apa. Dia tidak memiliki satu bukti yang meyakinkan kepada raja serta si Gadis kalau kain emas serta suasa yang dipersembahkan Jakub itu ialah miliknya. Sejenak, dia menengadahkan kedua tangannya berdoa memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu dia berakhir berdoa, seketika datanglah seekor burung elang terbang berputar- putar di atas keramaian acara sembari berbunyi.
“ Klik.. klik... klik... kain emas serta suasa itu kepunyaan Banta Berensyah...!!! Klik... klik.. klik... kain emas serta suasa itu kepunyaan Banta Berensyah...!!!” demikian bunyi elang itu berulang- ulang.
Mendengar bunyi elang itu, seisi istana jadi marak. Acara yang meriah itu mendadak menjadi sepi. Bunyi elang itu kemudian terus menjadi jelas terdengar. Raja serta Putri Terus Mata menyadari kalau Jakub ialah orang serakah yang sudah merampas kepunyaan orang lain. Sedangkan itu Jakub yang lagi di pelaminan mulai risau serta mukanya pucat. Sebab tidak tahan lagi menahan rasa malu serta khawatir menemukan hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri lewat jendela. Tetapi, dikala hendak meloncat, kakinya tersandung di jendela sehingga dia kemudian jatuh tersungkur ke tanah sampai tewas mendadak.
Sehabis kejadian itu, Banta Berensyah kemudian dinikahkan dengan Putri Terus Mata. Acara perkawinan mereka dilangsungkan sepanjang 7 hari 7 malam dengan sangat meriah. Tidak berapa lama sehabis mereka menikah, Raja yang merasa dirinya telah tua menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta Berensyah kemudian mengajak bundanya buat hidup dengannya di istana. Kesimpulannya, mereka kemudian hidup berbahagia dengan segala keluarga istana.
“ Klik.. klik... klik... kain emas serta suasa itu kepunyaan Banta Berensyah...!!! Klik... klik.. klik... kain emas serta suasa itu kepunyaan Banta Berensyah...!!!” demikian bunyi elang itu berulang- ulang.
Mendengar bunyi elang itu, seisi istana jadi marak. Acara yang meriah itu mendadak menjadi sepi. Bunyi elang itu kemudian terus menjadi jelas terdengar. Raja serta Putri Terus Mata menyadari kalau Jakub ialah orang serakah yang sudah merampas kepunyaan orang lain. Sedangkan itu Jakub yang lagi di pelaminan mulai risau serta mukanya pucat. Sebab tidak tahan lagi menahan rasa malu serta khawatir menemukan hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri lewat jendela. Tetapi, dikala hendak meloncat, kakinya tersandung di jendela sehingga dia kemudian jatuh tersungkur ke tanah sampai tewas mendadak.
Sehabis kejadian itu, Banta Berensyah kemudian dinikahkan dengan Putri Terus Mata. Acara perkawinan mereka dilangsungkan sepanjang 7 hari 7 malam dengan sangat meriah. Tidak berapa lama sehabis mereka menikah, Raja yang merasa dirinya telah tua menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta Berensyah kemudian mengajak bundanya buat hidup dengannya di istana. Kesimpulannya, mereka kemudian hidup berbahagia dengan segala keluarga istana.
Itulah Kisah Banta Barensyah Yang Pandai Meniup Seruling, dia adalah anak yang rajin dan teguh dalam berkehendak. Semoga adik-adik semua dapat meniru apa yang dikisahkan dalam cerita rakyat Aceh ini.
Post a Comment
Post a Comment