Tanpa sebab yang jelas, suatu hari berlangsung perselisihan antara sebagian orang masyarakat Kampung Talun Kenas dengan sebagian masyarakat Kampung Pematang Panjang. Perselisihan itu tidak bisa dihentikan, apalagi berujung dengan perkelahian. Masyarakat Kampung Talun Kenas kalah dan mederita luka-luka. Setelah itu mereka memberi tahu peristiwa tersebut kepada kepala kampungnya. Rasa dendam yang membara membuat mereka bersepakat membalas dendam, mereka ingin membalas kekalahan dengan cara menyerang kembali kampung Pematang Panjang. Setelah itu kemudian, mereka mengirim lima orang mata- mata terlatih yang bergerak di malam hari dengan cara menyelinap, untuk mengenali medan serta kekuatan musuh.
Pada saat mereka melaksanakan aksinya itu, mata- mata tersebut merasa sangat lelah karena perjalan yang panjang, kemudian mereka pun merebahkan badannya di dasar suatu pohon yang rindang serta beralaskan daun pohon itu. Nyatanya daun tersebut merupakan daun jelatang nyiru (suatu daun yang dapat membuat rasa sangat gatal di kulit). Tidak lama berselang, tiba-tiba rasa gatal menyerang seluruh tubuh mereka. Rasa gatal tersebut berganti jadi rasa sakit sebab garukan tangan mereka, karena hal tersebut, penyelidikan ke kampung Pematang Panjang pun dihentikan. Misi mereka telah kandas total, mereka pun kembali ke kampung Talun Kenas tanpa membuahkan hasil, kecuali rasa gatal yang terus menjadi-jadi. Rasa sesal serta kesal mencuat di hati mereka. Apa boleh buat, semua telah berlangsung di luar rencana.
Kemudian mereka memberi tahu seluruh yang terjadi kepada kepala suku. Mereka juga menganjurkan supaya penyerangan dibatalkan saja, sebab mereka mengira kalau masyarakat Kampung Pematang Panjang (Tanjung) telah mengenali rencana jahat yang hendak mereka lakukan, karena kejadian rasa gatal yang mereka alami, dikiranya itu adalah jebakan bagi mereka. Mereka kemudian berujar," Lebih baik kita hentikan rencana kita daripada terserang musibah. Jangankan orangnya, pepohonannya saja telah merawa (marah) kepada kita. Sakitnya juga tidak tertahankan, terlebih jika orang- orangnya marah, tidak terbayangkan gimana sakitnya," kata seseorang mata- mata yang terserang jelatang tadi.
Baca Juga
Bersumber pada kejadian merawanya pepohonan (marahnya pohon), kesimpulannya mereka meningkatkan kata Tanjung dengan kata" merawa", sehingga kampung itu berganti nama jadi Kampung Tanjung Merawa. Kata merawa kemudian berganti jadi Morawa, cocok dengan perkataan orang Belanda yang mulai masuk ke kampung itu. Semenjak saat itu hingga saat ini, kampung tersebut diketahui sebagai" Kampung Tanjung Morawa".
Post a Comment
Post a Comment